Kenapa di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara
luar dalam bidang industri software? Kalau mau dibuat perbandingan
dengan India, pada tahun 90an India merupakan negara dengan perekonomian
yang berada di bawah Indonesia. Apalagi masalah IT mereka saat itu
belum berkembang. Justru pada tahun 90an India sibuk menangani rakyatnya
yang kelaparan. Sedangkan Indonesia zaman sebelum reformasi juga belum
memiliki industri IT seperti sekarang. Tapi dengan start yang lebih di
depan harusnya Indonesia lebih unggul untuk saat ini. Kenyataannya
Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan India. Dengan tetangga
Malaysia dan Singapore kita sangat tertinggal. Pengen lihat prosesor AMD yang tercetak “assembly in Indonesia” bukan “assembly in Malaysia” tapi
kapan? Yang ada perlahan investor mulai hengkang dari Indonesia.
Sekarang kenapa kita mengharapkan investor asing dan melupakan
industri dalam negeri. Di Indonesia industri software sangat tidak
berkembang dikarenakan budaya Indonesia yang belum bisa menghargai hak
kekayaan intelektual(HAKI). Kalau bisa gratis kenapa harus bayar? Saya
yakin orang Indonesia hampir 80% masih belum sadar HAKI. Kalaupun ada
yang mentaati dan membayar penggunaan software kemungkinan besar bukan
karena kesadaran diri akan HAKI akan tetapi karena ketakutan kena razia
aparat. Dengan kondisi demikian maka industri software tidak akan
berkembang dengan mudah. Ketakutan software buatan sendiri dibajak
karena untuk membuat software itu sendiri juga menggunakan software
bajakan. Saya tidak mengingkari bahwa kebutuhan akan software saya
terbebas dari software ilegal. Beberapa software yang saya gunakan
adalah bajakan. Mohon maaf sebelumnya untuk produsen software di luar
sana. Saya tidak terlalu banyak membahas masalah ini, karena itu adalah
kesadaran dari diri masing-masing.
Kembali ke masalah industri software. Indonesia masih sangat sedikit yang memiliki produk sendiri berupa software. Bisa dihitung jari yang serius menggarap software buatan sendiri. Contohnya Zahir Accounting, sukses menjual software akutansi. Kenapa? Karena instansi dan perusahaan kemungkinan besar akan menggunakan software legal karena lebih mudah kena razia aparat dibanding penguna rumahan. Siapa yang menggunakan software akutansi di rumah? Software akutansi kebanyakan digunakan oleh perusahaan. Melihat dari contoh diatas kenapa industri software tidak memulai mengembangkan software dengan target market perusahaan. Karena kemungkinan dibajak adalah kecil dibandingkan dengan software rumahan semacam ACDSEE.
Di Indonesia software house masih konsentrasi dengan proyek-proyek mereka yang terus dikejar hingga ke daerah-daerah. Kenapa demikian? Karena hal ini lebih menjanjikan. Uang sudah pasti diperoleh bila mereka sukses menyelesaikan suatu proyek. Sedangkan produk harus di promosikan dulu, baru nanti kalau ada yang beli baru uang mulai mengalir. Mengembangkan software sebagai produk memang tidaklah mudah. Hal itu membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi kalau dipikir lagi sebenarnya dengan adanya produk sendiri maka kita bisa menawarkan produk kita ke banyak konsumen dari pada harus membuat satu software per konsumen. Padahal fungsi tiap software pada dasarnya sama tapi karena kita lebih project oriented maka kita selalu membuat software yang sama untuk perusahaan berbeda. Kenapa software yang mengikuti sistem konsumen? Harusnya konsumen yang mengikuti sistem dari software. Pada dasarnya berpindah dari sistem manual ke sistem komputerisasi pasti mengubah sistem lama konsumen. Dengan demikian buat apa kita mengembangkan sistem yang baru terus padahal kita bisa mengembangkan satu sistem yang solid dan diadopsi di tiap konsumen yang memiliki kebutuhan yang sama.
Sebagai contoh, perusahaan software asal Jerman dengan produknya SAP yang merupakan produk dengan fungsi ERP yang di adopsi banyak perusahaan besar di Indonesia seperti Telkom justru mengikuti sistem dari SAP dalam menjalankan sistemnya. Kenapa? Karena sistem SAP sudah terbukti solid selama bertahun-tahun di banyak negara. Karena itu mulailah mengembangkan produk ketimbang terus berburu proyek. Proyek harus selalu dikejar, sedangkan produk bila sudah solid dan baik maka konsumen juga pasti akan menghampiri. Dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan. Terutama dari segi hukum yang melindungi hasil kerja dari programmer-programmer Indonesia. Semoga tulisan ini dapat memacu para software house maupun programmer independent untuk bersama-sama membangun industri software Indonesia.
Kembali ke masalah industri software. Indonesia masih sangat sedikit yang memiliki produk sendiri berupa software. Bisa dihitung jari yang serius menggarap software buatan sendiri. Contohnya Zahir Accounting, sukses menjual software akutansi. Kenapa? Karena instansi dan perusahaan kemungkinan besar akan menggunakan software legal karena lebih mudah kena razia aparat dibanding penguna rumahan. Siapa yang menggunakan software akutansi di rumah? Software akutansi kebanyakan digunakan oleh perusahaan. Melihat dari contoh diatas kenapa industri software tidak memulai mengembangkan software dengan target market perusahaan. Karena kemungkinan dibajak adalah kecil dibandingkan dengan software rumahan semacam ACDSEE.
Di Indonesia software house masih konsentrasi dengan proyek-proyek mereka yang terus dikejar hingga ke daerah-daerah. Kenapa demikian? Karena hal ini lebih menjanjikan. Uang sudah pasti diperoleh bila mereka sukses menyelesaikan suatu proyek. Sedangkan produk harus di promosikan dulu, baru nanti kalau ada yang beli baru uang mulai mengalir. Mengembangkan software sebagai produk memang tidaklah mudah. Hal itu membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi kalau dipikir lagi sebenarnya dengan adanya produk sendiri maka kita bisa menawarkan produk kita ke banyak konsumen dari pada harus membuat satu software per konsumen. Padahal fungsi tiap software pada dasarnya sama tapi karena kita lebih project oriented maka kita selalu membuat software yang sama untuk perusahaan berbeda. Kenapa software yang mengikuti sistem konsumen? Harusnya konsumen yang mengikuti sistem dari software. Pada dasarnya berpindah dari sistem manual ke sistem komputerisasi pasti mengubah sistem lama konsumen. Dengan demikian buat apa kita mengembangkan sistem yang baru terus padahal kita bisa mengembangkan satu sistem yang solid dan diadopsi di tiap konsumen yang memiliki kebutuhan yang sama.
Sebagai contoh, perusahaan software asal Jerman dengan produknya SAP yang merupakan produk dengan fungsi ERP yang di adopsi banyak perusahaan besar di Indonesia seperti Telkom justru mengikuti sistem dari SAP dalam menjalankan sistemnya. Kenapa? Karena sistem SAP sudah terbukti solid selama bertahun-tahun di banyak negara. Karena itu mulailah mengembangkan produk ketimbang terus berburu proyek. Proyek harus selalu dikejar, sedangkan produk bila sudah solid dan baik maka konsumen juga pasti akan menghampiri. Dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan. Terutama dari segi hukum yang melindungi hasil kerja dari programmer-programmer Indonesia. Semoga tulisan ini dapat memacu para software house maupun programmer independent untuk bersama-sama membangun industri software Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment